Jiddu Krisnamurti: Kepercayaan

Mari kita lanjutkan, renungan kita lewat buku Meditasi Harian Bersama Jiddu Krisnamurti, yang pada kesempatan ini kita sampai pada topik pembahasan tentang Kepercayaan.

Seperti pada topik-topik yang lalu (topik yang lalu dapat dilihat pada bagian bawah artikel), penulis tidak menambahkan apapun pada bagian isi dari buku, kecuali melakukan penataan paragraf-paragraf sebagai jeda dan sekaligus bagian yang dianggap layak untuk dipahami lebih mendalam.

Artikel ini, -khususnya pengunggah tidak melakukan perubahan apapun - sesuai aslinya, kecuali perubahan yang dimaksud pada paragraf dua di atas.

Harapannya, semoga artikel ini dapat dijadikan bahan renungan, kontemplasi bagi para pembaca.

Silahkan cermati artikelnya berikut ini!

Kepercayaan
8 Februari

Memahami Apa Adanya

Jelas, orang yang memahami kehidupan tidak menginginkan kepercayaan.
Orang yang mencinta tidak punya kepercayaan—ia mencinta.
Orang yang dipenuhi inteleklah yang punya kepercayaan, oleh karena intelek selalu mencari rasa aman, mencari perlindungan; ia selalu menghindari bahaya, dan dengan demikian ia membangun gagasan-gagasan, kepercayaan-kepercayaan, cita-cita, yang di baliknya ia bisa berlindung.

Apa yang terjadi bila Anda menggarap kekerasan secara langsung, sekarang?
Anda akan menjadi bahaya bagi masyarakat; dan oleh karena batin melihat bahaya itu, ia berkata, Saya akan mencapai cita-cita tanpa-kekerasan sepuluh tahun lagi—suatu proses yang begitu fiktif, palsu ...

Memahami apa adanya adalah lebih penting daripada menciptakan dan menganut cita-cita, oleh karena cita-cita adalah palsu, dan apa adanya adalah yang nyata.

Memahami apa adanya membutuhkan kemampuan hebat, suatu batin yang tangkas dan tanpa-prasangka.

Oleh karena kita tidak ingin menghadapi dan memahami apa adanya maka kita menciptakan banyak jalan untuk melarikan diri dan memberinya nama-nama indah sebagai cita-cita, kepercayaan, Tuhan.

Jelas, hanya apabila saya melihat yang palsu sebagai palsu maka batin saya mampu melihat apa yang benar.

Batin yang bingung dalam kepalsuan tidak pernah dapat menemukan kebenaran. Oleh karena itu, saya harus memahami apa yang palsu dalam hubungan-hubungan saya, dalam gagasan-gagasan saya, dalam segala sesuatu tentang diri saya, oleh karena untuk melihat kebenaran dibutuhkan pemahaman akan yang palsu.

Tanpa membuang sebab-musabab ketidaktahuan, tidak mungkin ada pencerahan; dan mencari pencerahan ketika batin tak tercerahkan adalah hampa, tanpa makna sama sekali.

Oleh karena itu, saya harus mulai melihat yang palsu dalam hubungan saya dengan gagasan-gagasan, dengan orang-orang, dengan benda-benda. Bila batin melihat apa yang palsu, maka apa yang benar muncul, lalu ada gairah kenikmatan, ada kebahagiaan.

jiddu krisnamurti kepercayaan
Jiddu Krisnamurti: Kepercayaan
Kepercayaan
9 Februari

Apa yang Kita Percaya

Apakah kepercayaan memberikan semangat?

Dapatkah semangat bertahan tanpa kepercayaan; dan apakah semangat itu sendiri perlu, atau apakah diperlukan sejenis energi lain, suatu vitalitas, dorongan lain?

Kebanyakan kita memiliki semangat untuk suatu hal. Kita sangat berminat dan bersemangat terhadap musik, terhadap olahraga, atau piknik. Kalau tidak dipupuk terus-menerus dengan sesuatu, semangat itu luntur, dan kita mempunyai semangat baru untuk sesuatu yang lain.

Adakah daya, energi yang bisa bertahan, yang tidak bergantung pada kepercayaan?

Pertanyaan lain ialah: Apakah kita perlu suatu kepercayaan apa pun, dan kalau ya, mengapa perlu?

Itulah salah satu masalahnya. Kita tidak perlu kepercayaan bahwa ada sinar matahari, ada pegunungan, ada sungai-sungai. Kita tidak perlu kepercayaan bahwa kita bertengkar dengan istri kita. Kita tidak perlu kepercayaan bahwa kehidupan ini adalah kesengsaraan yang mengerikan dengan kepedihan, konflik, dan ambisi terus-menerus; itu adalah fakta. Tetapi kita menuntut kepercayaan bila kita ingin melarikan diri dari suatu fakta ke dalam apa yang tidak nyata.

Kepercayaan
10 Februari

Terguncang oleh Kepercayaan

Jadi, agama Anda, kepercayaan Anda kepada Tuhan, adalah pelarian dari aktualitas, dan oleh karena itu bukan agama sama sekali.

Orang kaya yang mengumpulkan uang melalui kekejaman, melalui ketidakjujuran, melalui eksploitasi yang licik percaya kepada Tuhan; dan Anda juga percaya kepada Tuhan, Anda juga licik, kejam, curiga, iri.

Apakah Tuhan dapat ditemukan melalui ketidakjujuran, melalui penipuan, melalui tipuan pikiran yang licik?

Oleh karena Anda mengumpulkan semua kitab suci dan berbagai simbol Tuhan, apakah itu menandakan Anda seorang yang religius?

Jadi, agama bukanlah pelarian dari fakta; agama adalah pemahaman fakta apa adanya diri Anda dalam hubungan Anda sehari-hari; agama adalah cara Anda berpidato, cara Anda bicara, cara Anda memperlakukan pelayan Anda, cara Anda memperlakukan istri, anak-anak Anda, dan tetangga Anda. Selama Anda tidak memahami hubungan Anda dengan tetangga Anda, dengan masyarakat, dengan istri dan anak-anak Anda, tentu ada kekacauan; dan, apa pun yang dilakukannya, batin yang kacau hanya akan menghasilkan lebih banyak kekacauan, lebih banyak masalah dan konflik.

Batin yang melarikan diri dari apa yang aktual, dari fakta-fakta hubungan, tidak akan pernah menemukan Tuhan;
batin yang terguncang oleh kepercayaan tidak akan mengenal kebenaran.
Tetapi batin yang memahami hubungannya dengan harta benda, dengan manusia, dengan gagasan, batin yang tidak lagi berkutat dengan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh hubungan, dan yang untuk itu pemecahannya bukanlah menarik diri melainkan memahami cinta—hanya batin seperti itu dapat memahami realitas.

Kepercayaan
11 Februari

Di Luar Kepercayaan

Kita menyadari bahwa kehidupan ini buruk, menyakitkan, menyedihkan; kita menginginkan suatu teori, suatu spekulasi atau kepuasan, suatu doktrin, yang akan menjelaskan semua ini, dan dengan demikian kita terperangkap di dalam penjelasan, di dalam kata-kata, di dalam teori, dan berangsur-angsur kepercayaan tertanam kokoh dan tak tergoyahkan, oleh karena di balik kepercayaan itu, di balik dogma itu, ada ketakutan yang menetap terhadap apa yang tak diketahui.

Tetapi kita tidak pernah memandang ketakutan itu; kita berpaling darinya.

Makin kuat kepercayaan, makin kuat pula dogmanya. Dan jika kita meneliti kepercayaan-kepercayaan ini— Kristen, Hindu, Buddhis—kita melihat bahwa kepercayaan-kepercayaan itu memecah-belah manusia.

Setiap dogma, setiap kepercayaan memiliki serangkaian ritual, serangkaian kewajiban yang mengikat manusia dan memisahkan manusia.

Jadi, kita mulai dengan menyelidik untuk menemukan apa yang benar, apa makna kesengsaraan ini, pergulatan ini, kesakitan ini;
dan dengan segera kita terperangkap di dalam kepercayaan, di dalam ritual, di dalam teori.

Kepercayaan itu merusak, oleh karena di balik kepercayaan dan moralitas menyelinap pikiran, diri—diri itu tumbuh menjadi besar, kuat dan berkuasa. Kita menganggap kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan terhadap sesuatu sebagai agama. Kita menganggap percaya berarti religius.

Pahamkah Anda?

Jika Anda tidak percaya, Anda dianggap ateis, Anda akan dikutuk oleh masyarakat.

Suatu masyarakat mengutuk mereka yang percaya Tuhan, masyarakat yang lain mengutuk mereka yang tidak percaya Tuhan. Kedua-duanya sama saja.

Jadi, agama menjadi sekadar masalah kepercayaan—lalu kepercayaan bertindak dan mempengaruhi batin; lalu batin tidak mungkin menjadi bebas.

Tetapi hanya di dalam kebebasan Anda dapat menemukan apa yang benar, apa itu Tuhan, bukan melalui kepercayaan apa pun, oleh karena kepercayaan Anda itu justru memproyeksikan apa yang Anda pikir Tuhan itu seharusnya, apa yang Anda pikir kebenaran itu seharusnya.

Kepercayaan
12 Februari

Tabir Kepercayaan

Anda percaya kepada Tuhan, dan orang lain tidak percaya kepada Tuhan;
jadi kepercayaan Anda memisahkan Anda dari orang lain.

Kepercayaan di seantero dunia diorganisir sebagai Hinduisme, Buddhisme, atau Kristianitas dll, dan itu memecah-belah manusia yang satu dari yang lain.

Kita bingung, dan kita mengira bahwa melalui kepercayaan kita akan menjernihkan kebingungan itu. Artinya, kepercayaan diterapkan terhadap kebingungan itu, dan kita berharap dengan demikian kebingungan itu akan lenyap.

Tetapi kepercayaan hanyalah sekadar pelarian dari fakta kebingungan; ia tidak membantu kita menghadapi dan memahami fakta kebingungan itu, melainkan melarikan diri dari kebingungan yang di dalamnya kita berada.

Untuk memahami kebingungan tidak diperlukan kepercayaan, dan kepercayaan hanya berperan sebagai tabir di antara kita dengan masalah-masalah kita. Jadi, agama—yang adalah kepercayaan terorganisir—menjadi alat melarikan diri dari apa adanya, dari fakta kebingungan.

Orang yang percaya kepada Tuhan, orang yang percaya kepada hari kemudian, atau yang mempunyai suatu bentuk kepercayaan lain, ia melarikan diri dari fakta dirinya. Tidakkah Anda pernah melihat orang yang percaya kepada Tuhan, yang melakukan ibadah, yang mengulang-ulang kata-kata dan doa-doa tertentu, dan yang dalam kehidupan sehari-harinya mendominasi, kejam, ambisius, penipu, tidak jujur?

Apakah mereka akan menemukan Tuhan?
Apakah mereka sungguh-sungguh mencari Tuhan?
Apakah Tuhan akan ditemukan dengan mengulang-ulang kata-kata, melalui kepercayaan?
Tetapi orang-orang seperti itu percaya kepada Tuhan, mereka memuja Tuhan, mereka pergi ke tempat ibadah setiap hari, mereka melakukan segala sesuatu untuk menghindari fakta diri mereka—dan orang-orang seperti itu Anda anggap terhormat karena mereka adalah Anda sendiri.

Kepercayaan
13 Februari

Menghadapi Kehidupan Secara Baru

Saya rasa, suatu hal yang kebanyakan dari kita senang menerima dan menganggap benar begitu saja adalah kepercayaan.

Saya tidak menyerang kepercayaan. Yang kita coba lakukan ialah mengkaji mengapa kita menerima kepercayaan; dan jika kita dapat memahami motif, sebab musabab dari penerimaan, maka mungkin kita bukan hanya dapat memahami mengapa kita melakukannya, tetapi juga bebas dari itu.

Kita bisa melihat betapa kepercayaan politik dan religius, kepercayaan nasional dan jenis-jenis kepercayaan lain, justru memisahkan manusia, justru menciptakan konflik, kekacauan, dan antagonisme—ini fakta yang gamblang; namun tetap saja kita tidak mau melepaskannya.

Ada kepercayaan Hindu, kepercayaan Kristen, kepercayaan Buddhis—kepercayaan nasional dan sektarian tak terhitung banyaknya, berbagai ideologi politik, semua bersaing satu sama lain, yang satu mencoba menarik yang lain masuk ke dalam golongannya.

Kita dapat melihat dengan jelas, kepercayaan memisahkan manusia, menciptakan ketidaktoleranan; mungkinkah untuk hidup tanpa kepercayaan?

Kita dapat menjawabnya hanya jika kita dapat mengkaji diri kita sendiri dalam berhubungan dengan suatu kepercayaan.

Mungkinkah untuk hidup di dunia ini tanpa suatu kepercayaan—bukan mengubah kepercayaan, bukan mengganti suatu kepercayaan dengan kepercayaan lain, melainkan sama sekali bebas dari semua kepercayaan, sehingga kita menghadapi kehidupan ini secara baru dari menit ke menit?

Bagaimana pun juga, inilah kebenarannya: yakni memiliki kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu secara baru, dari saat ke saat, tanpa reaksi dari masa lampau yang mengkondisikan, sehingga tidak ada efek kumulatif yang bertindak sebagai penghalang antara diri kita dengan apa adanya.

Kepercayaan
14 Februari

Kepercayaan Menghalangi Pemahaman Sejati

Jika kita tidak punya kepercayaan, apakah yang akan terjadi dengan kita?

Bukankah kita sangat takut akan apa yang akan terjadi?
Jika kita tidak mempunyai suatu pola tindakan berdasarkan suatu kepercayaan—baik kepercayaan pada Tuhan, atau pada komunisme, atau sosialisme, atau imperialisme, atau pada suatu rumusan religius tertentu, suatu dogma yang di dalamnya kita terkondisi—kita merasa sama sekali kehilangan arah, bukan?
Dan bukankah menerima kepercayaan berarti menyelubungi ketakutan itu—ketakutan untuk berada sebagai bukan apa-apa sama sekali, untuk kosong sama sekali?

Bagaimana pun juga, sebuah cangkir hanya bermanfaat kalau ia kosong; dan batin yang dipenuhi dengan kepercayaan, dengan dogma, dengan pernyataan, dengan kutipan, sesungguhnya adalah batin yang tidak kreatif; itu cuma batin yang mengulang-ulang.

Untuk melarikan diri dari ketakutan itu—ketakutan akan kekosongan, ketakutan akan kesepian, ketakutan akan kemandekan, tidak sampai, tidak berhasil, tidak mencapai, tidak berada sebagai sesuatu, tidak menjadi sesuatu—sesungguhnya adalah salah satu alasan mengapa kita menerima kepercayaan dengan begitu berminat dan begitu rakus, bukan?

Dan, dengan menerima kepercayaan, apakah kita memahami diri kita sendiri?
Malah sebaliknya.

Suatu kepercayaan, entah religius entah politis, jelas menghalangi pemahaman diri sendiri. Ia berperan sebagai tabir, yang melalui itu kita memandang diri kita sendiri.

Dapatkah kita memandang diri sendiri tanpa kepercayaan?
Jika kita membuang kepercayaan-kepercayaan ini, banyak kepercayaan yang kita miliki, masih adakah sesuatu untuk dipandang?
Jika kita tidak mempunyai kepercayaan yang dengan itu batin melihat dirinya, maka batin—tanpa identifikasi— mampu memandang dirinya sendiri sebagai apa adanya—lalu, sesungguhnya terdapat awal dari pemahaman diri sendiri.

Topik Terdahulu:

MUTIARA KEHIDUPAN
Meditasi Harian Bersama
Krishnamurti
oleh:
J. Krishnamurti
Yayasan Krishnamurti Indonesia
Jakarta

Diterjemahkan dari:
THE BOOK OF LIFE, Daily Meditations with Krishnamurti.
© 1995 oleh Krishnamurti Foundation of America 
ke dalam bahasa Indonesia oleh: Dr. Hudoyo Hupudio, MPH
© terjemahan (2005) pada: Yayasan Krishnamurti Indonesia, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masukkan komentar dan atau pertanyaan .......